Oleh: dizzman | September 12, 2017

Doyan Traveling? Jadi PNS Aja

Mumpung lagi ramai-ramainya seleksi CPNS, ayo para travellers, kalau memenuhi persyaratan administrasi segera daftarkan diri Anda. Peluang untuk traveling sangat besar bagi para PNS muda. Negeri ini sedang membangun infrastruktur di seluruh penjuru negeri, jadi perlu ribuan tenaga muda yang harus mengawasi jalannya pekerjaan tersebut. Kita berkesempatan untuk berkeliling Indonesia, melihat berbagai tempat yang dulunya cuma impian secara gratis. Lalu, bagaimana caranya?

 

Baca Selengkapnya..

Oleh: dizzman | September 10, 2017

Modal Dua Ribu Rupiah Jadi PNS

Mungkin nasib saya yang kurang bagus saat itu, lulus sarjana saat krisis moneter baru saja melanda negeri ini. Negara sedang ramai-ramainya demonstrasi menuntut pergantian pemerintahan yang berujung pada tumbangnya Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi saat itu. Banyak perusahaan swasta gulung tikar atau memindahkan kantornya ke negara tetangga akibat situasi kurang kondusif saat itu. Baca Selengkapnya..

Oleh: dizzman | September 9, 2017

Tujuh Tahun Berlalu, Saatnya Kini Kembali

Tak terasa blog ini telah lama saya tinggalkan, tepatnya tujuh tahun lebih enam bulan sejak tulisan terakhir pada bulan Maret disini. Sejak platform Politikana almarhum, blog ini ikut terkubur bersamanya karena sebagian besar tulisannya juga saya tulis disana. Selama kurun waktu tujuh tahun tentu sudah banyak peristiwa berlalu, sebagian saya tuliskan di platform Kompasiana karena disanalah saat ini saya bernaung dan memenangkan beberapa lomba penulisan. Baca Selengkapnya..

Oleh: dizzman | Maret 23, 2010

Mana Buktinya?

Kasus Susno Duadji dan tulisan Saudara Amstrong Sembiring mengingatkan penulis betapa sulitnya mengajukan bukti otentik atas apa yang diduga atau dituduhkan. Kesulitan utama pemberantasan korupsi di negeri ini adalah mencari bukti-bukti otentik di luar kesalahan administrasi, atau kebetulan tertangkap tangan. Para terduga selalu berlindung di balik kata ‘Mana Buktinya?’ bila dikonfirmasi dugaan atau tuduhan terhadapnya. Alih-alih memperbaiki diri, yang terjadi malah balik menggunakan pasal Pencemaran Nama Baik untuk membersihkan diri sekaligus menghantam para penduganya. Baca Selengkapnya..

Oleh: dizzman | Maret 19, 2010

F I R A S A T

Kata orang tua dulu, manusia sebenarnya dilengkapi oleh indera keenam alias instink atau firasat atau pertanda sesuatu. Namun tidak semua manusia mampu membaca firasat tersebut. Kadang malah ada yang mengatakan cuma dipas-paskan, atau menjadi pembenaran bila kejadiannya sudah berlalu. Saya sendiri termasuk netral, artinya kadang percaya kadang tidak dengan yang namanya firasat. Baca Selengkapnya..

Oleh: dizzman | Maret 10, 2010

Manajemen Supir Angkot

Headline harian Kompas kemarin (9/3/2010) menampilkan isu yang cukup menarik. Budaya setoran menjadi salah satu penghambat dalam reformasi Polri. Kalau mau dirunut lebih jauh, sepertinya bukan hanya Polri saja yang masih memberlakukan ‘kebijakan underground’ tersebut. Rasanya hampir semua institusi di negeri ini terjangkit budaya tersebut, terutama yang terkait dengan pelayanan publik alias dianggap ‘basah’. Mau sekolah harus setoran, mau naik jabatan harus setoran, bahkan mau pensiun saja harus setoran. Memang kondisi saat ini sudah jauh lebih baik, artinya tidak lagi mengedepankan setoran, tapi bukan berarti budaya tersebut hilang.

Pemerintahan dikelola seperti mengurus angkot. Tidak peduli bagaimana caranya, pokoknya™ setoran harus lunas tiap hari. Supir angkot ‘dipaksa’ untuk kreatif dalam mencari penumpang. Mau berhenti di tengah jalan, mau bikin macet orang, pokoknya™ harus ada pemasukan, tidak peduli menyenggol mobil orang. Bahkan saking kreatifnya, oknum supir angkot berani menukar ban atau onderdil yang baru diganti dengan onderdil kanibal, demi memeroleh penghasilan lebih. Begitulah kondisinya, demi mengejar setoran, korupsi menjadi salah satu pilihan. Tidak peduli besok aspal berlubang, yang penting jalan hari ini mulus dan selesai diperiksa pengawas, dan setoranpun tetap lancar.

Sifatnya yang siluman alias underground membuat praktik-praktik tersebut sulit untuk dibuktikan. Mereka berlindung di balik tiadanya bukti-bukti fisik langsung di tempat kejadian. Kita hanya bisa merasakan dampak dari ‘kebijakan siluman’ tersebut dari harga-harga barang, terutama produksi dalam negeri yang lebih tinggi dari negara lain. Oleh karena itu tidaklah heran kalau barang dari luar, terutama dari China lebih murah. Salah satunya karena di laut tidak ada razia atau setoran seperti di darat. Paling-paling cuma di pelabuhan saja, atau kalau apes ketemu kapal patroli. Coba bandingkan di darat, hampir setiap kabupaten/kota memasang petugas untuk menarik ‘setoran’ dari angkutan barang yang lewat.

Tidaklah heran kalau pemberantasan korupsi di negeri ini masih belum maksimal. Bagaimana tidak, sudah gaji pas-pasan, kebutuhan meningkat, masih juga ‘dipaksa’ untuk setoran. Budaya tersebut sudah seperti lingkaran setan, tak ada pangkal dan tak ada ujung, serta sulit dideteksi kecuali bila tertangkap tangan. Makanya untuk urusan korupsi, kita masih jadi juara umum….

Oleh: dizzman | Maret 4, 2010

Nestapa Amien Rais

Nestapa Dirimu

Bayangkanlah, apabila mobil yang Anda kendarai tidak dapat lagi dikendalikan kemudinya. Mungkin demikianlah nasib Pak Amien Rais, pendiri sekaligus Ketua Umum pertama Partai Amanat Nasional. Susah payah beliau dirikan partai tersebut, namun para penumpang gelap dengan enaknya mengendalikan kendaraan yang sedianya digunakan Amien Rais untuk meraih kursi RI-1. Bahkan putranya sendiripun turut ‘mendurhakai’ ayahandanya demi memuluskan kebijakan partainya. Kekuasaan membuat hati nurani menjadi buta dan tak lagi penduli kawan maupun lawan.

Kekuasaan memang tidak pandang bulu. Tidak peduli kawan, apalagi hubungan darah, apabila kepentingan telah berbeda. Kepentingan di atas segalanya, tidak peduli kawan seperjuangan, bahkan hingga ayah kandung sendiri. Kita bisa memahami mengapa PAN condong ke arah tersebut, mengingat sang ketua umum sekarang merupakan orang paling dipercaya oleh presiden. Namun kesalahannya adalah membiarkan beliau melenggang menjadi ketua umum, padahal dengan mendudukkan dia sebagai ketua umum, secara otomatis dapat dipastikan bakal menyandera kebijakan partai terutama bila harus berhadapan dengan kebijakan pemerintah. Ada baiknya memang rangkap jabatan dihindari, untuk membebaskan partai beserta konstituennya menentukan kehendak.

Para penumpang gelap tersebut memang tidak tahu diri. Telinga mereka tuli ketika Pak Amien Rais menghimbau agar partainya mengambil kebijakan yang berbeda dengan pemerintah. Tidak ada penghargaan, apalagi keprihatinan mendalam kepada Pak Amien Rais yang telah berjuang untuk tetap mempertahankan partai yang mulai koyak akibat kehadiran partai baru yang secara perlahan menggerus suara mereka. Peduli setan dengan 2014, yang penting sekarang ini ikut berkuasa. Toh rakyat kita gampang lupa, tiga tahun lagi juga sudah tidak ingat kasus Century lagi.

Habis manis sepah dibuang, begitulah mungkin nasib Pak Amien sekarang. Sakit rasanya apabila hal tersebut menimpa diri kita. Kejadian ini mengingatkan kita beberapa waktu yang lalu, ketika KH Zainuddin MZ juga ditelikung oleh para penumpang gelap pada partai yang didirikannya, Partai Bintang Reformasi, hingga beliau sendiri akhirnya memutuskan mundur dari dunia politik dan kembali berdakwah seperti sering tampak di beberapa stasiun TV akhir-akhir ini.

Penulis tidak bermaksud membela atau memihak siapapun, namun miris rasanya melihat pemikiran beliau yang sudah tidak lagi diperhatikan, apalagi diindahkan oleh pengurus partai yang didirikannya sendiri. Dimana lagi moral dan etika serta rasa malu dan penghargaan yang mendalam kepada pendiri partai?

NB. Gambar diambil dari http://www.tokohindonesia.com

Oleh: dizzman | Maret 1, 2010

J e n u h

Dalam Bahasa Indonesia, jenuh dapat diartikan lelah, capai, bosan, dan sejenisnya. Membaca koran/internet dan menonton berita TV minggu-minggu belakangan ini semakin melelahkan, dan membosankan, monoton. Masih untung, walaupun itu sebuah tragedi, ada kejadian (lagi) bencana alam sehingga ada sedikit ruang buat kontemplasi, betapa bangsa ini (lagi-lagi) tidak siap menghadapi bencana. Kita lebih siap berdebat hingga larut malam, dan penontonpun rela menghabiskan waktu untuk menyimak perdebatan yang semakin lama semakin tidak bermutu. Tiada aksi kolosal untuk menghadapi bencana, hanya wacana saja yang diperlihatkan tanpa aksi nyata.

Ironis memang, P pun sekarang ikut-ikutan membuat jenuh, dan seolah tak peduli bencana alam yang baru saja lewat. Dapat dikatakan lebih dari separuh artikel di P hanya membahas Century saja, dengan bahasa yang berulang-ulang dan dibumbui rasa buruk sangka sehingga menambah tensi amarah baik pro maupun kontra. Apa tidak ada ide tulisan lagi, sehingga hanya itu-itu saja yang dibahas. Padahal bangsa ini termasuk bangsa kreatif, yang mampu menciptakan berbagai kreasi baru dalam menciptakan produk tertentu. Namun dalam hal menulis, memang terlihat sekali kita miskin kreativitas, kecuali membuat komik dan novel. Sayang memang, idealisme menulis tidak seluruhnya tertuang di P. Padahal hampir setiap hari ditunggu tulisan kreatif dan orisinil khas P, namun tak juga muncul. Kalaupun muncul, cepat tenggelam oleh gemuruhnya badai Century yang tak ada habisnya ditulis.

Mengingat kejenuhan sudah semakin dalam, peduli setan besok lusa apa yang terjadi di negeri ini. Hasil akhir pansus menjadi tak menarik lagi untuk disimak, karena ujung-ujungnya sudah ketahuan. Apalagi kalau bukan kekuasaan dan uang. Kasihan negeri ini hanya mengurusi hal-hal seperti itu, padahal banyak urusan lain yang perlu diperhatikan. Bencana demi bencana siap menerkam di depan mata, tapi apa daya orang yang diamanahi malah mengurusi ‘bencana’ lain. Ya sudahlah, silakan menyimak pansus Century, kami pamit istirahat dulu, masih banyak urusan negara yang harus dikerjakan ketimbang berpangku tangan menunggu godot yang takkan pernah tiba.

Oleh: dizzman | Februari 23, 2010

Moral Hazard

Sepertinya penyakit inilah yang layak disebut sistemik dan menggurita daripada kasus Bank Century. Sulitnya mencari rezeki seperti kata pepatah ‘yang haram aja susah apalagi yang halal’ sudah melekat erat dalam benak kita. Kasus plagiat skripsi dan tesis yang baru-baru ini diangkat (padahal sudah sangat lama dan sistemik) menunjukkan betapa instanisme sudah menjadi gejala akut yang menghinggapi sebagian masyarakat kita. Bagi mereka yang penting lulus cepat, kerja cepat dan langsung menghasilkan, tidak peduli apakah ilmu yang diperoleh bermanfaat atau tidak. Belum lagi kasus-kasus malpraktik yang semakin sering diungkap ke permukaan, akibat malasnya oknum dokter menemukan penyakit sebenarnya dari pasien. Bagi yang sedang melahirkan, oknum dokter lebih sering mengajukan opsi operasi caesar dengan berbagai dalih kepada pasien, hanya karena malas menunggui si jabang bayi keluar dengan normal dari rahim ibunya. Apalagi bila berhubungan dengan aparat pemerintah, sudah bosan rasanya membaca keluhan yang tak kunjung reda pasca reformasi birokrasi yang sering didengung-dengungkan para petingginya namun tak pernah sampai ke bawah.

Ribuan peraturan sudah dibuat, mulai dari UU, PP, hingga Permen pahit sekalipun, tak mampu membendung kerusakan moral yang terlihat semakin parah belakangan ini. Peraturan dibuat hanya untuk dicari celah-celah demi memuluskan kepentingan tertentu, lari dari niat mulia dibuatnya suatu aturan untuk mengatur kehidupan manusia secara lebih baik. Konvensi atau aturan tidak tertulis sudah tidak lagi dipatuhi, dengan alasan tidak ada aturan yang melarang atau menyuruhnya secara tertulis. Bisa dibayangkan bila seluruh kehidupan kita, mulai dari bangun pagi hingga tidur di malam hari, dibuatkan aturan tertulisnya satu demi satu. Setebal apa buku aturan yang harus dipatuhi manusia bila konvensi saja tidaklah cukup.

Generasi muda sekarang terlihat lebih berani menantang generasi tua serta kehilangan sikap sopan santunnya. Generasi tua juga sudah tidak mampu lagi menunjukkan kharisma dan teladannya di depan generasi muda. Pemimpin sudah tidak lagi satu kata dan perbuatan, masyarakat juga mudah berburuk sangka kepada pemimpinnya. Tiada lagi yang dapat dipanuti atau diikuti, semua berjalan semau gue, yang penting tidak melanggar aturan tertulis, minimal ‘ngeles’ dengan berbagai argumentasi bila melanggar. Tidak ada rasa malu lagi bila kita melanggar aturan atau norma-norma sosial yang berlaku saat ini.

Daripada bikin ribuan aturan, banyak bicara normatif, mengapa kita tidak memulai memperbaiki moral bangsa yang sudah mendekati titik nadir ini. Paling tidak tumbuhkan rasa malu dan tahu diri, serta rasa empati terhadap sesama. Masukkan kembali ke dalam kurikulum pelajaran Budi Pekerti, pelajaran PMP walaupun membosankan tapi masih ada nilai-nilai nasionalismenya. Hayo siapa yang mau memulai?

Oleh: dizzman | Februari 21, 2010

Ganti Menkominfo!

Menkominfo

Tulisan ini tidak bermaksud latah terhadap RPM Konten Multimedia atau sejenisnya, tidak juga karena benci atau tidak suka Pak Menteri, tetapi lebih kepada refleksi diri bahwa untuk menjadi pejabat publik perlu wawasan yang luas, termasuk intrik-intrik yang terjadi di dalamnya. Justru saya menulis ini karena sayang dengan citra Pak Tifatul yang baik menjadi tercoreng hanya karena kekurang cermatan membaca situasi. Saya percaya sekali bahwa Pak Tifatul orang baik dan cukup pandai, namun belum cukup mengenal kondisi birokrasi terutama di dalam Kementerian yang dipimpinnya. Beliau sendiri juga mungkin belum terlalu memahami seluk beluk dunia teknologi informasi dan komunikasi (TIK), apalagi trik-trik nakal dan culas yang biasa dilakukan dalam dunia birokrasi.

Dunia TIK baru belakangan ini menjadi perhatian pemerintah, sehingga menjadi semacam mainan baru bagi oknum pengusaha TIK untuk memperlebar sayap bisnisnya, mumpung aparatur pemerintah masih belum paham benar sehingga bisa disetir sesuai dengan keinginan oknum pengusaha tersebut. Mereka berlindung dibalik kata ‘hak cipta’ untuk melindungi proyek-proyek jangka panjang di pemerintahan, padahal mereka sudah dibayar dan untuk itu menjadi hak pemerintah untuk memiliki ‘source code‘nya. Aplikasi yang digunakan tidak interoperable dengan aplikasi lain sehingga terjadi pemborosan anggaran hanya untuk mengintegrasikan antar aplikasi. Aparatur pemerintah dibuat ketergantungan update dan pemeliharaan pada vendor tertentu, sehingga terjadi monopoli terselubung yang dibungkus oleh ‘hak cipta’ tadi.

Kembali ke laptop, dimunculkannya kembali beberapa RPM seperti Penyadapan dan Konten Multimedia yang konon telah dipersiapkan sejak tahun 2006, menunjukkan betapa lemahnya beliau membaca situasi dan percaya begitu saja kepada aparatur di bawahnya. Dua menteri sebelumnya mungkin sudah bisa membaca situasi sehingga RPM tersebut diendapkan begitu saja, sementara di kalangan birokrasi di bawah terus bergerilya untuk mengangkat kembali topik tersebut, dan menemukan momen yang tepat saat pergantian menteri. Mumpung masih baru dan belum mengenal situasi, dengan alasan sudah banyak menghabiskan anggaran untuk pembahasan dan perlu sosialisasi serta masukan, maka dikeluarkanlah RPM tersebut, yang hasilnya sudah kita ketahui bersama.

Ada dua kemungkinan mengapa RPM tersebut tetap dipaksakan keluar. Hudznudzhon saya, anggaran pembahasan RPM tersebut sudah keluar, dan tentu harus ada hasilnya kalau tidak ingin diincar oleh KPK. Jadilah apapun yang terjadi, output dikeluarkan, walaupun dengan outcome yang diluar keinginan. Su’udzhon saya, biasanya sih ada free rider yang selalu memanfaatkan momen tertentu untuk mengangkat kembali isu tersebut sekaligus mengambil keuntungan dari kisruh pembahasan RPM tersebut, minimal kalau berhasil dialah yang akan memeroleh manfaat terbesarnya. Saya yakin, niat dari peluncuran RPM itu baik, tapi selama ada free rider yang memanfaatkan RPM tersebut untuk membuat mulitafsirnya itu yang dikhawatirkan oleh kita semua.

Akhir kata, sebaiknya Bapak mengundurkan diri saja daripada kebaikan Bapak selama ini tercoreng hanya karena ketidakcermatan Bapak mengawasi pekerjaan bawahan. Bila masih betah dengan alasan tidak ada undang-undang yang mengatur pengunduran diri, manfaatkan waktu tersisa untuk bekerja keras mengenali bawahan Anda secara cermat. Perhatikan mana bawahan yang ABS, yang idealis, yang diam-diam ingin mengatur Bapak, dan sebagainya. Salah memilih orang kepercayaan, cepat atau lambat dapat menjerumuskan Bapak ke dalam jurang yang paling dalam.

gambar diambil dari: http://www.arrahmah.com/index.php/news/read/4570/pks-tidak-berniat-paksa-orang-pakai-jilbab

Older Posts »

Kategori